Selasa, 27 Desember 2011

SUSAHNYA BERAGAMA DI NEGARA BERAGAMA


oleh: Ahmad Aprillah[i]
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu ( Pasal 29 UUD 1945).
Saya mencantumkan pasal 29 di atas jelas bukan tanpa tujuan, saya ingin mengingatkan kita kembali bahwa masalah kebebasan beragama telah dijamin dalam UUD 1945. Oleh karena itu hak beragama dan berkeyakinan adalah hak konstitusional yang melekat pada tiap-tiap warga negara Indonesia yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Jika hak ini tidak terpenuhi maka negara dapat dikatakan gagal dalam menjalankan amanat konstitusi. Demikian juga jika ada pihak-pihak yang menghalangi kebebasan beragama maka ia telah melanggar hak konstitusional seseorang dan dapat dikenakan hukuman pidana.

Dimasukkannya kebebasan beragama dalam konstitusi oleh para founding fathers bangsa kita karena mereka menyadari kondisi sosial negara kita yang sangat beragam secara keagamaan. Berbagai agama dan sistem keyakinan berkembang dan hidup di tengah masyarakat kita. Pemerintah tidak boleh hanya mengayomi satu agama tertentu dan mendeskriditkan agama yang lain. Inilah yang kemudian menjadi semangat untuk menolak bunyi sila pertama dalam piagam jakarta yang mencantumkan klausa dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya  dan menggantikannya sesuai dengan bunyi sila pertama yang sekarang. Jika saja piagam jakarta masih, maka pasti akan ada rasa diskriminasi terhadap agama lain, dan sistem kepercayaan yang lain.
Namun meskipun UUD menjamin kebebabasan tiap-tiap warga negara untuk beragama dan beribadat sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing  namun masih saja ada kebijakan pemerintah yang masih membatasi kebebasan beragama. Berbagai kebijakan yang restriktif ini ada baik di tingkat pusat maupun di daerah melalui berbagai peraturan-peraturan daerah (Perda).
Di tingkat pusat misalnya dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang Jemaah Ahmadiyah yang berisi ultimatum terhadap Jemaah Ahmadiyah untuk keluar dari Islam jika terus melanjutkan tafsir mereka yang dianggap tidak sesuai dengan tafsir Islam pada umumnya. SKB ini berlindung di balik UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama. Kemudian terbit juga SKB dua menteri tentang pembangunan tempat ibadah yang mempersulit umat minoritas untuk membangun tempat ibadah.
Pembatasan kebebasan beragama ditingkat daerah jauh lebih ekstrim. Semenjak reformasi ramai-ramai daerah yang menerapkan syar’iat Islam dan menerbitkan aturan diskriminatif yang mengekang kebebasan beragama dan berkeyakinan.  Misalnya Perda kabupaten pandeglang yang melarang jemaah ahmadiyah. Kemudian marak juga daerah yang menerapkan syariat islam seperti Aceh, Padang, Banten, dll. Penerapan syariat Islam ini dikhwatirkan akan mengekang ekspresi keagamaan penganut agama non islam.
Negara yang diharapkan mejadi penjamin dan pelindung kebebasan beragama justru menjadi mesin produksi atas berbagai peraturan yang diskriminatif dan mengekang kebebasan beragama.

Masyarakat makin tak toleran
Selain negara, masyarakat adalah aktor utama yang melakukan pengekangan atas kebebasan beragama. Berbagai kekerasan terhadap pemeluk agama dan penganut kepercayaan banyak dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat kita sangat keras terhadap perbedaan. Mereka memandang perbedaan sebagai sebuah ancaman sehingga menghalalkan  penyerangan terhadap orang-orang yang berbeda agama maupun terhadap mereka yang satu agama namun berbeda aliran dan mazhab. Inilah potret betapa masyarakat kita sangat mengagungkan kekerasan untuk menyelesaikan perbedaan. Padahal perbedaan ada justru untuk didialogkan bukan malah untuk diperuncing.
Kemudian banyak juga kelompok keagamaan  yang sangat keras dalam mendakwahkan agama mereka sampai-sampai menggunakan kekerasan. Kelompok-kelompok ini seolah mempunyai hak untuk melakukan penghakiman terhadap kelompok-kelompok yang mereka anggap sesat dan berbeda dari mereka. Masih segar di ingatan kita bagaimana penyerangan terhadap Jemaah ahmadiyah di Cikeusik, Bogor, dalam kejadian itu bahkan menelan korban jiwa. Pelakunya adalah mereka-mereka yang merasa mempunyai legitimasi untuk mengkafirkan kelompok lain. Aksi kekerasan ini semakin diperparah dengan aparat yang melakukan pembiaran tanpa ada inisitif untuk menghentikan massa ataupun mengevakuasi jemaah ahmadiyah yang telah terkepung.
Masyarakat kita yang dulu dikenal sebagai masyakarakat yang moderat dan murah senyum kini telah bermetamorfosa menjadi serigala-serigala yang memakan bangkai saudara mereka sendiri. Atas nama kebenaran mereka menyerang kelompok lain. Sungguh ironis.
Belum lagi kekerasan terhadap para pemeluk sistem keyakinan. Mereka dipaksakan untuk menerima dan memeluk agama-agama yang liegal dan diakui masyarakat. Para pendakwah dikirimkan untuk mengkonversikan mereka ke dalam agama-agama resmi. Identitas keagamaan mereka pun tidak diakui. Di kartu tanda penduduk mereka harus mencantumkan agama-agama yang resmi dan meniadakan identitas kepercayaan mereka.
Pencapain demokrasi kita dipuji setinggi langit dan bahkan di juluki sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di Dunia namun ternyata negara gagal menjamin kebebasan beragama untuk warganya. Padahal dalam negara demokrasi penegakan HAM sangat penting. Namun hal berbeda terjadi di Indonesia. Mungkin tidak ada yang salah dengan sistem demokrasi hanya demokrasi di negeri kta saja yang salah, hanya sebatas demokrasi prosedural dengan pemilu dan pilkada yang begitu gegap gempita namun  tidak menyentuh substansi dari demokrasi itu sendiri yaitu menjunjung tinggi HAM. Ternyata bercokolnya demokrasi di negara kita tak serta merta membawa keamanan dan kenyaman bagi masyarakat minoritas. Mereka tetap saja tertindas.
Sebegitu sulitkah untuk medapatkan kebebasan memeluk agama di negeri yang yang mengaku negeri bergama ini. Ketika kita memilih untuk tidak beragama dan tidak bertuhan itu berarti kita melawan pancasila karena negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa. Namun ketika harus memilih untuk beragama dan bertuhan kita harus memilih agama dan tuhan yang diakui oleh negara baru kita akan dilindungi. Sungguh tidak adil.


[i]  Penulis adalah redaktur pelaksana LPM Pena kampus FKIP Unram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar